ANALISIS OBJEKTIF DAN KENYATAAN ARTISTIK ANTARA CERPEN “TUMBAL SURAMADU” KARYA MUNA MASYARI DENGAN ARTIKEL “TUMBAL JEMBATAN SURAMADU” KARYA ANDANG SUBAHARIANTO
A.
Pendahuluan
1.
Mengapa
Mengambil Artikel “Tumbal Jembatan Suramadu” dan Cerpen “Tumbal Suramadu?
Media
pengungkapan sastra adalah dengan menggunakan bahasa. Pada hakikatnya sastra
tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Karya sastra dengan menggunakan media
bahasa mampu mengungkapkan atau melukiskan kehidupan realitas masyarakat dalam
suatu daerah tertentu. Biasanya menyangkut kehidupan sosial masyarakat
penghuninya.
Cerpen
merupakan salah satu karya sastra yang juga bermediakan bahasa. Lewat cerpen
inilah seorang penulis mampu menggambarkan atau melukiskan kehidupan realitas
masyarakat di suatu daerah berdasarkan kehidupan sosial masyarakat di daerah
tersebut. Karya sastra dan realitas yang ada dalam suatu masyarakat tertentu
saling mempengaruhi dan saling memberikan arahan. Terkadang realitas yang
terjadi di dalam suatu masyarakat tertentu bisa menjadi acuan ataupun inspirasi
dalam menciptakan sebuah karya sastra, dalam hal ini berupa cerpen. Karya
sastra yang berupa cerpen selain terinspirasi dari sebuah realitas masyarakat
tertentu bisa menjadi sarana untuk menyampaikan kritik sosial, kritik terhadap
pemerintah atau ungkapan perasaan penulis mengenai peristiwa yang terjadi di
masyarakat.
Oleh
karena itu, dalam tulisan ini akan diungkapkan persoalan realitas yang
terkandung dalam cerpen Tumbal Suramadu
karya Muna Masyari terkait dengan artikel Tumbal
Jembatan Suramadu karya Andang Subaharianto. Tidak hanya persoalan realitas
atau objektivitas yang akan dibahas dalam tulisan ini, tetapi juga keartistikan
yang terkandung dalam cerpen maupun artikel tersebut.
Cerpen
Tumbal Suramadu dipilih karena cerpen ini bukan sembarang cerpen. Cerpen ini
telah dimuat di koran harian Jawa Pos,
pada tanggal 19 Februari 2012. Sebuah cerpen yang dimuat di Jawa Pos harus melalui seleksi yang
ketat. Maka kesimpulan penyusun, cerpen ini merupakan cerpen yang bagus menurut
Jawa Pos.
Artikel
Tumbal Jembatan Suramadu karya Andang Subaharianto dipilih karena Andang
Subaharianto merupakan staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember yang
tulisannya tidak perlu diragukan lagi. Sudah pasti sebagai staf pengajar
Fakultas Sastra kemampuan menulisnya bagus dan beliau pasti juga sudah
mempunyai pengalaman menulis yang tidak sedikit.
Cerpen
dan artikel disebut dipilih karena mempunyai judul dan cerita yang sama dan
saling berkaitan.
2. Cerpen Tumbal Suramadu terhadap Artikel Tumbal Jembatan Suramadu
Karya sastra merupakan dunia fiktif atau
imajinatif. Akan tetapi, karya sastra juga merupakan rekaman segala aspek kehidupan yang terjadi di masyarakat.
Oleh karena itu, karya sastra merupakan potret atau gambaran yang dilebur
dengan daya imajinasi pengarangnya dan apa yang terkandung dalam karya sastra
sangatlah kompleks. Kekompleksan ini tentunya mencangkup segala lini kehidupan,
seperti persoalan budaya, religi, pemikiran, politik, permasalah sosial lain.
Bahan utama karya sastra berasal dari aspek sosial atau realita masyarakat
tertentu yang ditemukan pada kehidupan sehari-hari.
Cerpen Tumbal Suramadu menggambarkan atau mengungkapkan peristiwa yang
bersangkutan tentang kenyataan dalam artikel Tumbal Jembatan Suramadu karya Andang Subaharianto. Cerpen Tumbal
Suramadu karya Muna Masyari yang terbit di Jawa Pos ini terinspirasi dari kenyataan
pada saat pembangunan jembatan suramadu. Artikel dari Andang Subaharianto
merupakan hal yang nyata yang mungkin digunakan sebagai reverensi penulisan
cerpen oleh Muna Masyari. Kesamaan cerita ada pada kedua jenis tulisan
tersebut. Hal ini akan dibahas pada analisi dibahasan berikutnya.
B.
Teks
Artikel Tumbal Jembatan Suramadu Karya Andang Subaharianto
MASYARAKAT di sekitar Surabaya dan Madura beberapa hari belakangan
ini dilanda isu penculikan anak-anak kecil untuk dijadikan tumbal Jembatan
Suramadu (Surabaya-Madura). Konon, jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan
Madura itu memerlukan tumbal berupa 1.000 kepala bocah.
Tentu saja isu tersebut membuat masyarakat resah. Tak ada orangtua
rela kepala anaknya dijadikan tumbal pembangunan jembatan. Tetapi, bagaimana
masyarakat bisa terpedaya oleh isu yang tidak masuk akal itu? Lalu, untuk apa
isu penculikan anak-anak kecil sebagai tumbal pembangunan jembatan Suramadu
diproduksi?
Polisi boleh-boleh saja mengangap isu tersebut sebagai sensasi
belaka, apalagi memang tidak mudah dibuktikan kebenarannya. Tetapi, bagi
masyarakat, tidaklah penting mempersoalkan apakah pembangunan Jembatan Suramadu
itu benar-benar memerlukan tumbal atau isu itu hanyalah sensasi yang dibuat
oleh orang yang kurang kerjaan. Yang jelas, masyarakat memiliki memori kolektif
yang membenarkan isu tersebut.
Masyarakat kita tidaklah asing terhadap perkataan tumbal. Tumbal
berhubungan dengan sesuatu yang ditanam untuk menolak penyakit (tolak bala).
Pada zaman dulu, rumah atau kebun biasa dipasangi tumbal agar terhindar dari
bahaya atau kekuatan jahat. Di samping itu, tumbal juga diartikan sebagai
pengorbanan manusia, biasanya untuk menggapai hal-hal yang besar. Di sebagian
masyarakat kita, tumbal masih menjadi bagian penting dari suatu upacara,
seperti petik laut, selamatan desa, dan sebagainya.
Kosmologi semacam itu tidak serta merta hilang begitu saja oleh
budaya modern. Bahkan, tumbal menjadi persoalan seremoni negara ketika
proyek-proyek pembangunan hendak dimulai. Hal ini mirip dengan tradisi
kerajaan-kerajaan prakolonial. Pada zaman raja-raja, simbol-simbol kerajaan,
upacara, dan prosesi, merupakan unsur-unsur vital untuk menciptakan kekuasaan
dan potensi yang memungkinkan raja memerintah. Ritual kerajaan melambangkan
kebesaran kekuasaan raja (lihat Clifford Geertz, Negara: The Theatre
State in Nineteenth-Century Bali, Princeton University Press).
Oleh karena itu, ketika Orde Baru memulai proyek-proyek
pembangunan, pada saat yang sama isu perburuan kepala manusia juga muncul
mengiringinya. Saya masih teringat betul tentang ceritapekpekan pada
tahun 1970-an, saat saya masih anak-anak. Konon, pekpekan adalah
orang yang pekerjaannya berburu kepala manusia, terutama anak-anak.
Ia digambarkan berpakaian lusuh, bersenjata tajam, membawa karung
besar untuk tempat kepala.Pekpekan berkeliaran mencari mangsa di
siang hari dengan berkedok mencari barang-barang bekas. Makhluk yang disebut pekpekan itu
akan menculik anak-anak yang sedang berkeliaran di siang hari, lalu memotong
kepalanya. Konon, kepala itu akan dijual kepada orang yang membutuhkannya
sebagai tumbal membuat jembatan, gedung-gedung dan sebagainya, persis dengan
isu yang beredar di sekitar Surabaya-Madura beberapa hari lalu.
Isu perburuan kepala manusia juga berembus kencang di Pegunungan
Meratus, Kalimantan Selatan, pada tahun 1980-an. Anna L Tsing dalam In
the Realm of the Diamond Queen melaporkan bahwa orang-orang Dayak
Meratus mempercayai desas-desus tentang perburuan kepala mereka oleh petugas
pemerintah, dan hal ini dikaitkan dengan mesin-mesin pengeboran minyak milik
Pertamina yang tidak berfungsi. Dipercayai oleh orang-orang Meratus bahwa
kepala mereka akan dijadikan tumbal agar mesin-mesin pengeboran minyak itu
dapat berfungsi kembali.
Jadi, masyarakat kita memang punya memori kolektif yang
membenarkan hubungan antara tumbal dan proyek-proyek pembangunan, terutama
proyek yang dikerjakan pemerintah.
Resitensi
Namun, dalam konteks Jembatan Suramadu, reproduksi isu perburuan
kepala tampaknya punya makna lain. Kita tahu bahwa rencana pembangunan Jembatan
Suramadu tidak berjalan mulus sebagaimana diharapkan pemerintah.
Terdapat perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah yang
menganut paradigma ekonomi dan masyarakat Madura, terrutama ulama, yang
menganut paradigma moral. Ideologi pembangunan berhadapan dengan tradisi.
Pembangunan Jembatan Suramadu akhirnya mengalami penundaan gara-gara sikap
kritis masyarakat Madura yang dipelopori oleh ulama, yang kemudian tergabung
dalam Badan Silaturahmi Pesantren Madura (Bassra).
Sebagaimana ditunjukkan Muthmainnah dalam Jembatan
Suramadu: Respons Ulama terhadap Industrialisasi, semula masyarakat Madura
mengira bahwa pembangunan Jembatan Suramadu hanya untuk memperlancar arus
tranportasi. Tetapi, dari Keppres RI Nomor 55/1990 diketahui bahwa pembangunan
jembatan itu ternyata satu paket dengan industrialisasi Madura.
Di sinilah masalahnya. Sebagian masyarakat Madura, terutama para
ulama, mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan oleh industrialisasi itu. Mereka
tidak berarti menolak pembangunan jembatan, tetapi kritis terhadap rencana
industrialisasi. Ulama menghendaki industrialisasi itu harus "Indonesiawi,
manusiawi, dan Islami".
Indonesiawi berarti industrialisasi itu harus untuk kepentingan
bangsa Indonesia; manusiawi berarti industrialisasi itu harus menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia; dan Islami berarti harus sejalan dengan
nilai-nilai Islami, tidak boleh ada kegiatan yang bertentangan dengan Islam.
Di samping itu, pembangunan Jembatan Suramadu juga mengundang
perlawanan dari masyarakat Madura yang terkena pembebasan tanah. Telah menjadi
kecenderungan Orde Baru bahwa tanah rakyat yang terkena proyek pembangunan
dihargai sangat murah. Dengan berlindung di balik asas "hak menguasai
negara" pemerintah Orde Baru dapat sesukanya menggusur rakyat dari tanah
miliknya.
Begitu pula yang terjadi di Madura seiring dengan rencana
pembangunan Jembatan Suramadu. Pemerintah dianggap tidak adil dan sangat
merugikan rakyat, karena menetapkan ganti rugi tanah dan bangunan di atasnya
jauh di bawah harga yang ditawarkan rakyat.
Di samping itu, juga terdapat tempat-tempat keramat yang pantang
diusik, seperti makam Kyai Syafii dan Nyai Nalimah di Desa Pangpong, Kabupaten
Bangkalan. Mereka diyakini sebagai nenek moyang masyarakat Pangpong dan
keturunan Sunan Giri (lihat Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respons
Ulama terhadap Industrialisasi, LKPSM).
Melihat riwayat pembangunan Jembatan Suramadu tersebut, reproduksi
isu tumbal kepala anak-anak tampaknya masih terkait dengan resistensi sebagian
masyarakat terhadap pembagunan jembatan itu. Ada semacam kecemasan,
kekhawatiran, dan ketakutan dari sebagian masyarakat terhadap pembangunan
Jembatan Suramadu.
Bisa karena alasan ekonomis, dan bisa pula karena alasan tradisi.
Kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan semacam itu dulu dapat tersalurkan,
terutama lewat para ulama. Namun, saat ini para ulama pun bisa dikatakan
"sepakat" terhadap pembangunan Jembatan Suramadu. Tidak muncul
perlawanan terbuka seperti tahun 1990-an.
Hal ini mengingatkan saya pada tesis James Scott tentang everyday
forms of resistance. Menurut Scott,everyday forms of resistance merupakan
bentuk perlawanan terselubung dari petani miskin terhadapeveryday forms of
repression yang dilakukan secara terbuka oleh para tuan tanah.
Dengan demikian, isu penculikan anak-anak yang menggemparkan
masyarakat sekitar Surabaya dan Madura belakangan ini punya kaitan dengan
pergeseran pandangan dan sikap masyarakat terhadap pembangunan jembatan
tersebut.
Isu itu menandai adanya aspirasi "lain" (the others);
siasat resistensi bagi sebagian masyarakat yang membayangkan dirinya akan
menjadi "tumbal" pembangunan jembatan tersebut. Mereka membayangkan
jembatan itu cepat atau lambat akan menyingkirkan dirinya. Jembatan Suramadu
dibayangkan akan melahirkan marginalisasi baik di bidang ekonomi, sosial,
politik, maupun budaya.
Oleh karena itu, bagi mereka tinggal satu jalan, yaitu
mereproduksi isu, desas-desus. Dan, memori kolektif masyarakat menjadikan isu
atau desas-desus itu sebagai "realitas".
(Andang
Subaharianto, staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember, 22
April 2002, http://groups.yahoo.com/group/asidharta/message/728)
C. Sinopsis Cerpen Tumbal Suramadu Karya Muna Masyari
Dalam memori seorang ibu, kota itu tak kurang
dari kawanan perampok raksasa beringas dan bermata bengis. Ia akan meremukkan
siapa yang dianggap lengah dan lemah. Perampok itu akan merampas apa yang
dipunyai orang kecil seperti tanah, rumah, sawah, sungai, bahkan area
pekuburan. Semua dirampas lalu disulap mejadi gedung-gedung yang hanya boleh
dimasuki orang-orang berbaju rapid an wangi.
Ibu itu cemas dan khawatir soal terbentangnya
jembatan suramadu. Karena kkawatir jembatan itu akan merampas apa yang menjadi
miliknya, ia juga takut anak semata wayangnya direnggut dan ditelan oleh mulut
raksasa alias jembatan itu. Maka dari itu, Ibu itu mengirimkan anak semata
wayangnya ke pondok pesantren yang tak mungkin dijamah oleh perampok raksasa
itu. Karena perampok raksasa itu bau amis. Darah
membercak di kujur tubuhnya. Dari yang sudah mengental kering dengan warna
kehitaman, hingga yang masih membasah berwarna merah segar.
Suatu ketika ada seorang lelai tambun yang
sering dipanggil Pak Klebun datang ke rumah ibu itu. Raut muka ibu itu berubah
keruh karena ibu itu tahu tujuan jahat Pak Klebun. Pak Klebun datang hendak
merampas apa yang telah menjadi milik ibu itu, yaitu memangkas pohon nangka
yang katanya mengganggu pelebaran jalan. Ibu itu bersikeras tidak mau menebang
pohon nangka warisan kakeknya meski diiming-imingi uang tiga juta rupiah. Pak
Klebun berusaha keras merayu karena tempat itu sangat strategis dan akan
ditawarkan pada investor sebagai tempat pembangunan industri garam. Sudah tiga
kali Pak Klebun datang membujuk, tetapi ibu itu selalu menolak dan menolak. Pak
Klebun akan menebang paksa. Apakah ibu itu akan mampu bersiteguh mempertahankan
pohon nangkanya?
D. Analisis Cerpen Tumbal Suramadu Karya Muna Masyari terhadap Artikel Tumbal Jembatan Suramadu Karya Andang
Subaharianto
1. Kenyataan Objektif Cerpen Tumbal Suramadu
terhadap Realitas Artikel Tumbal Jembatan Suramadu
Cerpen Tumbal Suramadu karya Muna Masyari terinspirasi
dari kisah nyata atau realitas berdirinya jembatan suramadu. Muna Masyari
mengambil sekelumit keadaan masyarakat di sana pada waktu itu, kemudian ia
menuliskan cerpennya ini. Tidak semuanya sama antara kenyataan dan cerpen yang
dituliskannya, karena sekali lagi karya sastra merupakan hasil imajinasi
pengarangnya. Meskipun pada kenyataannya imajinasi itu terilhami dari suatu
realitas yang terjadi di masyarakat.
Dalam artikel dinyatakan, penculikan anak
untuk dijadikan tumbal yaitu 1000 kepala bocah membuat masyarakat resah. Tak
ada orangtua rela kepala anaknya dijadikan tumbal pembangunan jembatan. Hal ini
sesuai dengan salah satu penggalan cerpen dalam cerpen karya Muna Masyari,
yaitu sebagai berikut.
“KULIHAT di kepala
ibu, kota itu tak kurang dari kawanan perampok raksasa yang beringas dan
bermata bengis. Ia akan meremukkan sesiapa yang dianggapnya lengah dan lemah.
Matanya menyimpan bilah-bilah pedang. Siap menjagal leher-leher menonggak
tegak. Tangan kekarnya menggenggam palu besi, siap dihantamkan pada batok
kepala yang kokoh mendongak, hingga tekuk. Menunduk takluk. Tak berkutik.
Sepasang kakinya akan menginjak apa saja yang dianggap menghadang, hingga
menjadi remah-remah tak bernilai. Kuku-kuku tajam dan panjang siap mencakar.”
Di
samping itu, pembangunan Jembatan Suramadu juga mengundang perlawanan dari masyarakat
Madura yang terkena pembebasan tanah. Telah menjadi kecenderungan Orde Baru
bahwa tanah rakyat yang terkena proyek pembangunan dihargai sangat murah.
Dengan berlindung di balik asas "hak menguasai negara" pemerintah
Orde Baru dapat sesukanya menggusur rakyat dari tanah miliknya. Hal ini mungkin
menjadi inspirasi Muna Masyari dalam cuplikan cerpennya sebagai berikut.
“Benar, di kepala ibu, kota hanyalah perampok.
Merampok apa-apa yang dipunya orang kecil. Tanah, rumah, sawah, sungai, bahkan
area pekuburan. Semua dirampas, lalu disulap menjadi gedung-gedung yang hanya
boleh dimasuki orang-orang berbaju rapi dan wangi.”
Dalam
artikel yang ditulis Andang S menyatakan bahwa dalam konteks Jembatan Suramadu,
reproduksi isu perburuan kepala tampaknya punya makna lain. Kita tahu bahwa
rencana pembangunan Jembatan Suramadu tidak berjalan mulus sebagaimana
diharapkan pemerintah. Terdapat perbedaan pandangan yang tajam antara
pemerintah yang menganut paradigma ekonomi dan masyarakat Madura, terrutama
ulama, yang menganut paradigma moral. Ideologi pembangunan berhadapan dengan
tradisi. Pembangunan Jembatan Suramadu akhirnya mengalami penundaan gara-gara
sikap kritis masyarakat Madura yang dipelopori oleh ulama, yang kemudian
tergabung dalam Badan Silaturahmi Pesantren Madura (Bassra). Cuplikan artikel
ini mungkin telah menginspirasi Muna Masyari bahwa kalau anak ibu itu
dimasukkan ke pesantren maka perampok itu tidak akan berani menjamah, seperti
dalam cerpennya sebagai berikut.
“Aku mengerti. Sangat mengerti. Begitupun ketika
ibu lebih tenang mengirimku ke pondok pesantren daripada melanjutkan ke sekolah
negeri. Ibu pikir, hanya di pondok pesantren yang sulit—bukan tak
mungkin—dijamah tangan-tangan perampok raksasa.”
Artikel Andang yang menyebutkan
bahwa pembangunan Jembatan
Suramadu juga mengundang perlawanan dari masyarakat Madura yang terkena
pembebasan tanah. Telah menjadi kecenderungan Orde Baru bahwa tanah rakyat yang
terkena proyek pembangunan dihargai sangat murah. Dengan berlindung di balik
asas "hak menguasai negara" pemerintah Orde Baru dapat sesukanya
menggusur rakyat dari tanah miliknya. Artikel ini juga tercermin pada cerpen
Muna sebagai berikut.
“Dari bocoran carek yang kudengar, sebentar lagi ada
pelebaran dan pengaspalan di jalan lintas depan rumah. Pak Klebun meminta agar
pohon nangka yang rindang dan sering berbuah lebat itu ditebang, sekaligus
mengikhlaskan 1,5 meter halaman rumah untuk pelebaran jalan.
Masih menurut yang aku dengar, tanah catoh di ujung desa bagian selatan yang
terletak di pinggir jalan sana, sangat strategis untuk ditawarkan pada investor
sebagai pembangunan industri garam. Selain tanahnya luas, tidak terlalu jauh
dari kawasan tambak, desa ini juga masuk pinggir kota yang mudah dikembangkan.
Maka, langkah awal tentu harus ada pelebaran dan pengaspalan jalan. Tanpa ada
ruas jalan yang memadai sebagai sarana lalu-lintas, tentu investor akan
berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di sini.
Namun ibu menolak keras ketika pohon nangkanya
menjadi salah satu pohon yang harus ditumbangkan demi pelebaran jalan tersebut.
Ia tidak mau pohon nangka berusia puluhan tahun itu ditebang.”
2. Artistik
Cerpen merupakan karya sastra
yang bermediakan bahasa. Memang sastra adalah seni bermediakan bahasa. Bahasa
dalam sastra mengemban fungsi komunikatif. Untuk memperoleh efektivitas
pengungkapan, bahasa dalam sastra dalam hal ini cerpen disiasati, dimanipulasi,
dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan sosok yang berbeda
dengan bahasa nonsastra.
Bahasa nonsastra ditampilkan
lugas, apa adanya dan tidak menyuguhkan cerita. Bahasa non sastra seperti
artikel karya Andang S tersebut menggunakan bahasa yang rasional dan denotatif.
Sedangkan bahasa pada cerpen Muna Masyari mengandung bahasa yang emotif,
konotatif, melenggok-lenggok tetapi cerpen Muna Masyari juga menggunakan bahasa
yang denotatif dan lugas. Sebagai contoh, yaitu sebagai berikut.
ARTIKEL: Pembangunan Jembatan
Suramadu juga mengundang perlawanan dari masyarakat Madura yang terkena
pembebasan tanah. Telah menjadi kecenderungan Orde Baru bahwa tanah rakyat yang
terkena proyek pembangunan dihargai sangat murah. Dengan berlindung di balik
asas "hak menguasai negara" pemerintah Orde Baru dapat sesukanya
menggusur rakyat dari tanah miliknya.
CERPEN: Dari bocoran carek yang kudengar, sebentar lagi ada
pelebaran dan pengaspalan di jalan lintas depan rumah. Pak Klebun meminta agar
pohon nangka yang rindang dan sering berbuah lebat itu ditebang, sekaligus mengikhlaskan
1,5 meter halaman rumah untuk pelebaran jalan. Masih menurut yang aku dengar,
tanah catoh di ujung desa bagian selatan yang
terletak di pinggir jalan sana, sangat strategis untuk ditawarkan pada investor
sebagai pembangunan industri garam. Selain tanahnya luas, tidak terlalu jauh
dari kawasan tambak, desa ini juga masuk pinggir kota yang mudah dikembangkan.
Maka, langkah awal tentu harus ada pelebaran dan pengaspalan jalan. Tanpa ada
ruas jalan yang memadai sebagai sarana lalu-lintas, tentu investor akan
berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di sini. Namun ibu menolak keras
ketika pohon nangkanya menjadi salah satu pohon yang harus ditumbangkan demi
pelebaran jalan tersebut. Ia tidak mau pohon nangka berusia puluhan tahun itu
ditebang.
Dalam perbandingan kedua jenis
tulisan ini, kedua tulisan ini mudah untuk dipahami, lugas dan denotatif.
Cerpen Tumbal Suramadu yang notabene karya sastra tidak melulu menggunakan
bahasa yang konotatif, emotif dan mendayu-dayu. Sedikit pula majas atau gaya bahasa
yang digunakan. Bahasa yang konotatif, emotif dan mendayu-dayu dicontohkan
dalam penggalan di bawah ini, sebagai berikut.
“KULIHAT di kepala ibu, kota itu tak kurang dari kawanan
perampok raksasa yang beringas dan bermata bengis. Ia akan meremukkan sesiapa
yang dianggapnya lengah dan lemah. Matanya menyimpan bilah-bilah pedang. Siap
menjagal leher-leher menonggak tegak. Tangan kekarnya menggenggam palu besi,
siap dihantamkan pada batok kepala yang kokoh mendongak, hingga tekuk. Menunduk
takluk. Tak berkutik. Sepasang kakinya akan menginjak apa saja yang dianggap
menghadang, hingga menjadi remah-remah tak bernilai. Kuku-kuku tajam dan
panjang siap mencakar.”
Penggalan cerpen Muna Masyari ini
mengandung bahasa yang emotif dan konotatif. Misalnya, kalimat “…kawanan perampok raksasa yang beringas dan
bermata bengis.” Perampok raksasa ini merupakan sebutan untuk pemerintah
yang sewenang-wenang merebut tanah masyarakat Surabaya-Madura.
3.
Pesan Penulis Cerpen Tumbal
Suramadu
Muna Masyari yang miris terhadap kenyataan
pembangunan jembatan suramadu ingin mengungkapkan ekspresinya lewat cerpen yang
dibuatnya. Ia mungkin ingin berpesan pada pemerintah bahwa jangan ada lagi
tumbal apabila hendak melakukan proyek-proyek pembangunan, baik tumbal secara
ritual seperti pemenggalan kepala ataupun tumbal secara kasat mata, yaitu
merampas tanah milik orang miskin.
E. Kesimpulan
Kesimpulan dari paparan dan analisis di atas adalah
karya sastra merupakan suatu ekspresi penulis yang diungkapkan dengan media
bahasa. Ekspresi penulis atau pengarang karya sastra bisa diilhami atau
terinspirasi dari realitas sosial masyarakat di daerah tertentu.
Perbedaan karya sastra dan non karya sastra bisa
dilihat dari bahasanya dalam segi artistiknya. Karya sastra seperti cerpen
biasanya menggunakan bahasa yang konotatif, emotif, dan mendayu-dayu, biasanya
pula mempunyai plot sedangkan teks nonsastra seperti artikel menggunakan bahasa
yang lugas dan to the point.
F.
Daftar Pustaka
Andang Subaharianto.
2002. Tumbal Jembatan Suramadu. http://groups.yahoo.com/group/asidharta/message/728. [Diakses pukul 16:20 WIB, tanggal 13 Maret
2012].
Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM
Press.
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Apresiasi Prosa. Yogyakarta: Pustaka Felicha.
Kasnadi dan Sutejo. 2010. Kajian Prosa: Kiat Menyisir Dunia Prosa. Yogyakarya: Pustaka Felicha.
Muna Masyari. 2012.
Tumbal Suramadu. http://lakonhidup.wordpress.com/2012/02/22/tumbal-suramadu/. [Diakses pukul 16:33, tanggal 13 Maret 2012].
G. lampiran
Tumbal Suramadu
Cerpen Muna Masyari (Jawa Pos, 19 Februari 2012)
KULIHAT di kepala ibu, kota itu tak kurang dari kawanan perampok raksasa
yang beringas dan bermata bengis. Ia akan meremukkan sesiapa yang dianggapnya
lengah dan lemah. Matanya menyimpan bilah-bilah pedang. Siap menjagal
leher-leher menonggak tegak. Tangan kekarnya menggenggam palu besi, siap
dihantamkan pada batok kepala yang kokoh mendongak, hingga tekuk. Menunduk
takluk. Tak berkutik. Sepasang kakinya akan menginjak apa saja yang dianggap
menghadang, hingga menjadi remah-remah tak bernilai. Kuku-kuku tajam dan
panjang siap mencakar.
Kulihat di kepala ibu, kota itu tak kurang dari
kawanan perampok raksasa titisan kanibal. Mulutnya menganga lebar. Berperut
lapar. Maka, ketika ibu-ibu bercerita tentang kota pada anaknya menjelang
tidur, si anak akan bertanya; besok pagi, giliran siapa dimakan siapa? Si ibu
akan menjawab; menghindarlah, maka kau akan selamat!
Kulihat di kepala ibu, kota itu tak kurang dari
kawanan perampok raksasa yang begitu amis. Darah membercak di kujur tubuhnya.
Dari yang sudah mengental kering dengan warna kehitaman, hingga yang masih
membasah berwarna merah segar.
Benar, di kepala ibu, kota hanyalah perampok.
Merampok apa-apa yang dipunya orang kecil. Tanah, rumah, sawah, sungai, bahkan
area pekuburan. Semua dirampas, lalu disulap menjadi gedung-gedung yang hanya
boleh dimasuki orang-orang berbaju rapi dan wangi.
Maka, terbentangnya jembatan suramadu sepanjang
kurang lebih 5,4 kilometer itu, di mata ibu, serupa lengan raksasa yang
dijulurkan dari seberang. Siap meremas pulau terapung ini. Begitu mencemaskan
dan mengancam. Tidak heran, ibu begitu khawatir tangan raksasa itu merampas
apa-apa yang dimilikinya; termasuk aku. Ibu cemas, anak semata wayangnya ini direnggut
dari pengkuannya, lalu ditelan mulut raksasa.
“Jangan pernah tinggalkan Ibu, Cong! Hanya kamu yang Ibu miliki,” desah ibu, risau.
Aku mengerti. Sangat mengerti. Begitupun ketika
ibu lebih tenang mengirimku ke pondok pesantren daripada melanjutkan ke sekolah
negeri. Ibu pikir, hanya di pondok pesantren yang sulit—bukan tak
mungkin—dijamah tangan-tangan perampok raksasa.
Aku patuh. Sepatuh saat ibu memintaku menganga
sewaktu dulu menyuapiku.
***
Gelap. Kata Nom Makmun,
sambungan kabel listrik ke rumah tersangkut pohon bambu yang tumbang saat hujan
dan angin mengamuk siang tadi. Terputus dan belum sempat disambung kembali.
Kami memang hanya menyambung listrik dari rumah Nom Makmun, tetangga sebelah
yang terpisah dua petak ladang dengan rumah kami. Cukup diminta menyumbang
bayaran rekening sebesar 10.000 rupiah tiap bulan olehnya. Toh, yang kami gunakan hanya dop-dop 5 watt di
kamar, di serambi, dan pojok belakang rumah yang berdekatan dengan kandang
ayam. Menjelang tidur, lampu kamar pun dimatikan.
Malam ini, ibu duduk menghadap dhamar talempek sambil menjahit sarungku
yang lepas jahitannya. Sudah menjadi kebiasaan, setiap aku pulang karena
liburan pesantren, ibu memeriksa sarung dan baju-bajuku yang lepas jahitannya
atau robek tersangkut paku, untuk dijahit kembali. Baju yang tanggal
kancingnya, diganti yang lain meski beda dengan warna baju, dan tampak
mencolok.
Ujung benang dijilat supaya memudahkan perempuan
sabar itu memasukkannya ke lubang jarum. Didekatkan ke dhamar yang menyala kewalahan
dengan pandangan ditajamkan. Laron-laron berseliweran mencium dhamar yang terbuat dari bekas
kaleng susu di depannya, berebutan mendahului tangan ibu.
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Ibu memintaku
membukanya.
Agak sulit kukenali wajah gelap Pak Klebun yang
berdiri di depan pintu. Untung pita suarannya yang berat masih tersimpan di
kepala.
“Ibumu ada, Mad?”
Puntung rokok yang masih mengepulkan asap tipis
langsung dibuangnya ke halaman.
Tanpa menjawab, kuajak Pak Klebun masuk dengan
anggukan samar.
Raut muka ibu berubah keruh. Tak perlu
mengangkat wajah, ibu sudah tahu siapa yang bertamu, dan maksud kedatangannya.
Ia menyerahkan sarung yang selesai dijahit beserta gulungan benangnya padaku.
Aku mundur, masuk ke kamar. Bisa kutebak,
sebentar lagi akan ada percakapan yang sama antara ibu dan Pak Klebun.
Percakapan tentang pohon nangka besar di sudut depan halaman, yang terletak di
pinggir jalan.
Dari bocoran carek yang
kudengar, sebentar lagi ada pelebaran dan pengaspalan di jalan lintas depan
rumah. Pak Klebun meminta agar pohon nangka yang rindang dan sering berbuah
lebat itu ditebang, sekaligus mengikhlaskan 1,5 meter halaman rumah untuk
pelebaran jalan.
Masih menurut yang aku dengar, tanah catoh di ujung desa bagian
selatan yang terletak di pinggir jalan sana, sangat strategis untuk ditawarkan
pada investor sebagai pembangunan industri garam. Selain tanahnya luas, tidak
terlalu jauh dari kawasan tambak, desa ini juga masuk pinggir kota yang mudah
dikembangkan. Maka, langkah awal tentu harus ada pelebaran dan pengaspalan
jalan. Tanpa ada ruas jalan yang memadai sebagai sarana lalu-lintas, tentu
investor akan berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di sini.
Namun ibu menolak keras ketika pohon nangkanya
menjadi salah satu pohon yang harus ditumbangkan demi pelebaran jalan tersebut.
Ia tidak mau pohon nangka berusia puluhan tahun itu ditebang.
“Sudah saya katakan, saya tidak akan menebang
pohon itu, berapa pun Bapak akan memberi saya kerugian!”
“Tapi ini untuk kepentingan umum, Bu.” Bujuk Pak
Klebun, beralasan. Sudah ketiga kalinya lelaki tambun itu datang untuk membujuk
ibu.
“Bapak boleh meminta pohon apa saja di belakang
rumah, asal jangan meminta saya menebang pohon yang di depan sana!”
“Masalahnya, pohon itulah yang mengganggu
pelebaran jalan, Bu!”
“Terserah apa mau Bapak. Yang jelas, saya tidak
akan pernah mengizinkan!”
Ibu tetap gigih. Ganti rugi sebesar tiga juta
rupiah yang diiming-imingi Pak Klebun sejak pertama datang kemari, tidak menggoyahkan
penolakannya. Bahkan, Pak Klebun berjanji akan membantu ibu jika uang tersebut
mau digunakan untuk mendafarkan diri sebagai pelanggan PLN. Barangkali Pak
Klebun menyangka ibu akan tergoda pada tawarannya di saat rumah gelap seperti
ini.
Tidak. Pak Klebun belum tahu. Dulu, almarhum
ayah sudah berniat menjual pohon nangka tersebut untuk biaya penyambungan PLN
yang waktu itu masih seharga 2 juta rupiah. Namun ibu tidak setuju. Ia lebih
suka menyambung dari rumah Nom Makmun,
atau cukup menggunakan dhamar talempek daripada
harus menjualnya.
Aku paham apa yang ibu pikirkan. Sangat paham.
Itu pohon nangka peninggalan kakek. Batang
pohonnya lebih besar dari pelukan orang dewasa. Dahan-dahannya melebar rindang.
Bila dilihat dari kejauhan, seperti pohon raksasa yang gelap oleh rerimbun
daun. Bila kemarau, tetangga dekat berdatangan meminta daunnya untuk pakan
kambing. Rantingnya pun sering dipinta untuk dijadikan kayu bakar. Ketika
tetangga ada kifayah, ibu menyedekahkan buah nangkanya yang masih muda-muda
agar dijadikan sayur lodeh pada ketiga atau ketujuh hari kematian.
Karena teduh, bawah pohon nangka itu juga sering
dijadikan tempat istirahat oleh orang-orang yang melintas pulang dari sawah,
tempat bermain anak-anak sepulang sekolah, dan menjadi tempat ibu-ibu menunggu
penjaja ikan keliling saban pagi. Ibu sengaja menyediakan balai-balai bambu di
sana.
Hanya dengan pohon nangka itu ibu bisa berbagi
dengan tetangga. Tidak pernah mengeluh meski harus menyapu gugurnya daun-daun
yang berserakan di halaman, sampai dua kali sehari; pagi dan sore. Bahkan bila
musim hujan, daun-daun itu menempel ke tanah. Tak cukup menggunakan sapu lidi
untuk membersihkannya. Harus mencomotnya satu-satu dengan tangan.
Aku paham. Betapa keberatannya perasaan ibu
untuk menebangnya.
Bukan itu saja. Bayangan kota di kepala ibu
sudah demikian menyeramkan. Aku tahu, ibu juga tidak menyukai adanya pelebaran
jalan. Jalan semakin lebar, berarti jarak bersalipan sesama pengguna akan
semakin renggang. Ibu khawatir, orang-orang akan malas untuk bertegur-sapa.
Apalagi diaspal. Kendaraan-kendaraan tentu semakin berlaju kencang, dan
orang-orang yang melintas akan semakin enggan untuk sekadar menyapa atau
menoleh ke samping. Hanya meninggalkan kepulan asap.
Itu wajah sinis dan egois kota yang tergambar di
kepala ibu. Bagi orang lain, mungkin gambaran yang terlalu naif untuk dijadikan
alasan ketidaksetujuannya dilakukan pelebaran jalan. Tapi tidak bagiku. Wajah
kota di kepala ibu memang begitu adanya. Sangat mencemaskan.
Di mata ibu, kesejahteraan kota hanya mampu
dinikmati orang-orang berduit. Sementara orang-orang kecil dan awam seperti
kami hanya dijadikan tumbal. Tidak heran, sejak suramadu diresmikan
pengoperasiannya oleh presiden, 10 Juni silam, kecemasan di benak ibu semakin
menggunduk saja. Mencipta gunung berapi yang siap memuntahkan ketakutan demi
ketakutan yang melahar. Banyak bersinyalir, Madura akan mengalami kemajuan
pesat dengan adanya jembatan yang ibarat lengan raksasa tersebut. Namun ibu
tidak pernah rela Madura menjelma kota.
Sekarang, lambat-laun kecemasan ibu membayang
nyata. Perampokan seolah tengah mengintai di dekatnya. Ibu geram mendengar
bujukan Pak Klebun yang tak jera menerima penolakannya.
“Sebaiknya Bapak pulang saja!” ketus ibu. Muak.
“Jadi bagaimana? Apa ibu tetap tidak setuju?”
desak Pak Klebun, masih meminta kepastian.
“Tidak!”
“Baik. Kalau begitu, jangan salahkan saya kalau
nanti ada penebangan paksa.”
Selesai mengucapkan kalimat gusar itu, Pak
Klebun beranjak pulang membawa kejengkelan yang bercokol di dadanya. Kekesalan
mudah terbaca dari gerakan kasar dan cara ia pulang tanpa pamit.
“Ibu tidak suka ada pelebaran jalan.” Desah ibu,
begitu aku keluar kamar. Hanya sepuluh detik dari kepergian Pak Klebun.
Ibu terduduk lemas di kursi kayu, selesai
mengunci pintu. Kulihat, sosok Pak Klabun benar-benar menjelma perampok raksasa
di kepala ibu. Tergambar nyata. Menggenggam gergaji berantai besi yang bunyinya
meraung-raung memekakkan telinga. Wajahnya sangat mengerikan.
Aku terdiam. Apakah ibu akan mampu bersiteguh
mempertahankan pohon nangkanya? (*)
.
.
Pamekasan,
04-02-2012
Komentar
Posting Komentar