Disusun untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Sastra Mistik
Oleh:
Novitasari Mustaqimatul Haliyah
NIM. C0211027
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
A. Latar Belakang
Dewasa
ini banyak karya sastra bermunculan, mulai dari sajak, puisi, bahkan novel.
Sajak, puisi, dan novel bertemakan cinta dan islami sangatlah banyak, tetapi
sajak, puisi atau novel yang bersifat mistik atau mistisisme sangat jarang
ditemui.
Menurut
Rudolf Otto (dalam Y.A. Surahardjo,1983:5), mistisisme adalah usaha mendapatkan
yang tidak terbatas di dalam keterbatasan. Mistisisme merupakan upaya untuk
mengungkap sesuatu yang dianggap mistik atau misteri, dan menekankan segala
usaha demi pembebasan.
Puisi
“Di Luar Keputusasaan” karya penyair dan sastrawan India, Rabindranath Tagore
ini merupakan salah satu karya sastra yang mistis dan sangat menarik untuk
dibahas. Ditambah lagi, penyair dan sastrawan India ini tidak dikenal, padahal
banyak karyanya yang mencuat bahkan pada tahun 1913, ia mendapatkan Nobel Prize for Literature (Nobel
Sastra).
Karya-karya
mistisnya yang berkaitan dengan kedekatan terhadap Tuhan patut untuk
diapresiasi dan diteliti lebih lanjut. Karya-karya Tagore seperti “Di Luar
Keputusasaan” masih berbau Hindu-Budha. Selama ini belum banyak orang yang
meneliti karya sastra mistik yang berbau India, Hindu-Budha.
Penulis
akan menganalisis karya sastra Rabindranath Tagore “Di Luar Keputusasaan” ini dengan
konsep mistisisme. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan makna yang
terkandung dalam puisi tersebut berdasarkan konsep fana dan baqa dalam tasawuf
meskipun karya tersebut beraliran Hindu-Budha.
B. Pembahasan
Ma’rifah
adalah tingkatan melihat Tuhan dengan mata yang ada dalam hati sanubari. Dalam
tingkatan ini, seseorang akan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga akhirnya
bersatu dengan Tuhan yang sering disebut dengan ittihad. Tetapi sebelum
seseorang dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan
dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih
sadar akan dirinya, ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri
ini disebut dengan fana’.
Penghancuran
dalam istilah sufi ini senantiasa diiringi oleh baqa (tetap, terus hidup). Fana dan baqa merupakan kembar dua. Jika seseorang dapat menghilangkan
maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya. Fana yang dicari ialah penghancuran diri yaitu al fana ‘an al-nafs, yaitu hancurnya
perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia.
Jika
seseorang telah sampai pada al fana ‘an
al-nafs ketika itu pula dapat bersatu dengan Tuhan. Abu Jazid al-Bustamilah
yang dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan fana dan baqa berkata:
“Aku tahu Tuhan
melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padaNya melalui diriNya,
maka akupun hidup.
Ia membuat aku
gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian ia membuat aku gila padaNya, dan
akupun hidup…………..aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila
padaMu adalah kelanjutan hidup.”
Dalam
puisi Rabindranath Tagore yang berjudul “Di Luar Keputusasaan” menggambarkan
fana dan baqa yang sama halnya konsep fana dan baqa sufi tersebut. Di bawah ini
puisi Rabindranath Tagore:
DI
LUAR KEPUTUSASAAN
Dalam harap yang
menyekap, aku pergi dan mencari dia di seluruh sudut ruangan; tak kutemukan dia
di sana.
Rumahku kecil,
dan apa yang pernah pergi tidak akan kembali.
Tetapi istana-Mu
tanpa batas, Tuhan; dan ketika mencari dia, aku telah sampai di pintu-Mu.
Aku berdiri di
bawah tirai langit malam-Mu, dan aku buka mataku yang riang menatap wajah-Mu.
Aku telah sampai
pada kedipan keabadian tempat tak satu pun dapat menghilang tiada harap, tiada
kebahagiaan, tiada wajah yang bersimbah air mata.
Oh, kosongkan
hidupku yang hampa ke dalam lautan itu, damparkan ia ke kepenuhan yang
terdalam. Biarkan aku, sekali saja, merasakan sentuhan manis yang hilang dalam
keseluruhan semesta (Rabindranath Tagore, 2002:29).
Puisi
yang ditulis oleh Rabindranath Tagore tersebut merupakan sebuah puisi mistis
India. Rabindranath Tagore mencoba mengungkapkan isi hatinya melalui doa-doa
yang ia lantunkan berupa bait-bait puisi mistis. Hati sanubarinya selalu
mencari keberadaan Tuhan karena ia memang sangat membutuhkan Tuhan.
“Dalam harap
yang menyekap, aku pergi dan mencari dia di seluruh sudut ruangan; tak
kutemukan dia di sana”
Bait
tersebut menggambarkan seseorang yang berharap dan sangat berharap menemukan
“dia”. “Dia” di sini bukanlah hanya sebentuk manusia, tetapi lebih luas dari
itu, yaitu bentuk penghambaan manusia yang mencari sebuah kelekatan atau
hubungan dengan Tuhan.
“Rumahku
kecil, dan apa yang pernah pergi tidak akan kembali.”
Bait
tersebut menggambarkan seorang hamba yang sadar akan dirinya kecil. Kata
“Rumahku kecil” merupakan perwakilan pernyataan bahwa diri seorang hamba lebih
kecil dari sebuah rumah. Kemudian dilanjutkan “…dan apa yang pernah pergi tidak
akan kembali.” Potongan bait tersebut mengisahkan bahwa sesuatu yang telah
pergi atau diambil kembali oleh Tuhan tidak akan kembali. Seperti roh yang
terlepas dari raganya, tidak akan pernah kembali pada raga itu. Hal ini
merupakan fana, fana adalah sesuatu yang hilang dan tidak akan kembali. Hal ini
mulai mengarah pada pertemuan dengan Tuhan dan menuju pada tahap baqa, seperti
pada bait selanjutnya.
“Tetapi
istana-Mu tanpa batas, Tuhan; dan ketika mencari dia, aku telah sampai di
pintu-Mu.”
Istana
Tuhan tidak terbatas. Bait tersebut mengungkapkan bahwa Tuhan memiliki tahta
atau istana yang tidak terbatas luasnya, berbeda dengan diri makhluk yang hanya
mempunyai istana sekecil rumah dan itu sangat terbatas. Istana Tuhan meliputi
langit dan bumi beserta isinya. Kemudian dalam bait itu “…dan ketika mencari
dia, aku telah sampai di pintu-Mu.” Makna dari potongan bait tersebut berkaitan
dengan baqa, yaitu tahta keabadian.
“Aku berdiri di
bawah tirai langit malam-Mu, dan aku buka mataku yang riang menatap wajah-Mu”
Makna
dari puisi atau bait tersebut adalah seseorang atau makhluk atau manusia yang
menyibak tirai Tuhan. Makhluk atau manusia itu mencoba mengenali Tuhan dan
bersama dengan Tuhan, menatap dan mengetahui semua tentang Tuhan bahkan
sifat-sifat Tuhan seperti dalam ma’rifah
sufi.
“Aku telah
sampai pada kedipan keabadian tempat tak satu pun dapat menghilang tiada harap,
tiada kebahagiaan, tiada wajah yang bersimbah air mata.”
Makhluk
itu telah sampai di tahta Tuhan, di tempat Tuhan berada dan kembali pada Tuhan
mencapai keabadian atau dalam hal sufi disebut dengan istilah baqa. Makhluk
atau manusia itu sudah tidak mengharapkan apapun yang ada di dunia, baik harta,
tahta atau wanita. Ia hanya mengharapkan keabadian bersama dengan Tuhan.
“Oh, kosongkan
hidupku yang hampa ke dalam lautan itu, damparkan ia ke kepenuhan yang
terdalam. Biarkan aku, sekali saja, merasakan sentuhan manis yang hilang dalam
keseluruhan semesta.”
Bait
ini sudah mulai pada tataran yang lebih tinggi setelah fana dan baqa, yaitu
tataran al fana al an-nufs. Tataran
penyatuan dengan Tuhan yang abadi dan merasakan segala bentuk yang indah atau
manis.
C. Kesimpulan
Puisi
“Di Luar Keputusasaan” karya Rabindranath Tagore merupakan puisi mistis India
yang beraliran Hindu-Budha. Puisi itu menggambarkan tentang fana dan baqa dalam
sufisme atau sastra sufi. Bait-bait yang disampaikan dalam puisi tersebut
merupakan gambaran hati nurani dari Rabindranath Tagore akan keinginan
berdekatan dengan Tuhan dan mengetahui semua tentang Tuhan, maka ia menuju pada
keabadian atau baqa, yang kemudian menyatu atau menghilang dalam tahta Tuhan
atau kerajaan Tuhan.
D. Daftar Pustaka
Tagore,
Rabindranath. 2002. The Heart of God:
Menyingkap Kalbu Ilahi. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Y.
A. Surahardjo. 1983. Mistisisme.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Komentar
Posting Komentar