RELEVANSI DALAM PERJALANAN BUDAYA
LOKAL DI INDONESIA
Disusun
sebagai UK-1 Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia
Oleh:
Novitasari
Mustaqimatul Haliyah
NIM.
C0211027
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
BAB I
RELEVANSI FILM “THE GOD MUST BE
HUNGRY” DALAM PERJALANAN BUDAYA LOKAL DI INDONESIA
1.1 Makna Sesaji
Kata
sesaji sering terdengar dan dipakai di sekitar masyarakat Indonesia. Namun,
kita seringkali tidak tahu makna sesaji.
Sesaji merupakan pemberian sajian-sajian seperti yang tertera dalam http://sosbud.kompasiana.com/(2011: online) sebagai
berikut.
Sesaji mengandung arti pemberian sesajian-sesajian sebagai tanda
penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi dimasyarakat sesuai
bisikan ghaib yang berasal dari paranormal atau tetuah-tetuah. Sesajen
merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para
dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan) dan
lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak
kesialan.
1.2 Peran Sesaji dalam Masyarakat Lokal
Indonesia
Tao
dan multi agama di Singapura erat kaitannya dengan sesaji. Penganut Tao dan
multi agama di Singapura mengadakan penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang
mereka. Mereka juga menyembah pada dewa untuk keselamatan mereka. Penyembahan
itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan
menggunakan sesaji.
Di
Indonesia juga masih ada penyembahan semacam itu. Penyembahan dengan sesaji
maupun penyembahan terhadap banyak dewa sesuai dengan keperluan masing-masing.
Di
Bali yang kental dengan kebudayaan Hindu terdapat banyak sekali pura. Pura-pura
itu sebagai tempat memuja Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai Tri Murti.
Tri Murti ada tiga kekuasaan Tuhan, yaitu Brahma sebagai pencipta, Wisnu
sebagai pemelihara, dan Syiwa sebagai pelebur. Masing-masing dari Tri Murti ini
harus mendapatkan sesaji.
Di
Bali ada juga pura yang bersifat fungsional yaitu pura yang para pendukung atau
pemujanya mempunyai suatu kepentingan yang sama dalam hal-hal tertentu. Salah
satu yang tergolong pura ini adalah Pura Subak. Subak adalah organisasi
tradisional tentang sistem irigasi pertanian di Bali. mereka mempunyai
kepentingan yang sama dalam mendapatkan air sawah mereka. Di pura ini yang
dipuja adalah Wisnu yang diyakini menganugerahkan kesuburan pada sawah mereka (Pande Nyoman Djero Pramana, 2004:41).
I
Made Laken dalam (Pande Nyoman Djero
Pramana, 2004:48) mempunyai pendapat bahwa
Pada
zaman dahulu sasih kelima atau keenam
sering terjadi gerubug yaitu
berjangkitnya suatu wabah penyakit seperti cacar dan kolera yang mengakibatkan
banyak orang sakit dan meninggal dunia. Antara bulan-bulan tersebut juga sering
terjadi penyakit busung lapar. Gagalnya hasil pertanian karena terserang hama
dan musim kemarau yang panjang mengakibatkan makanan sulit didapat. Masyarakat
percaya bahwa semua bencana tersebut disebabkan oleh ane sing ngenah (yang tidak kelihatan) sedang murka atau marah.
Bagi masyarakat Desa Bungkulan hal ini suatu pertanda bahwa tiba saatnya
mengadakan upacara atau nuntun Sang Hyang Jaran.
Prosesi
upacara sebelum pelaksanaan Tari Sang Hyang Jaran ada yang namanya mepiuning.
Seperti biasa ada beberapa sesajen seperti canang raka, canang sari, dan tirta
(air suci). Mantra-mantra dan doa diucapkan serta diiringi tembang pujian,
sesajen dihaturkan oleh pemimpin upacara.
I
Made Suenten yang merupakan selir (penari Sang Hyang Jaran) yang saat upacara
ikut nembang, tiba-tiba menangis seperti orang kerawuhan. Peristiwa ini
berkesan seakan-akan ada komunikasi antara selir dengan yang dipuja (Pande Nyoman Djero Pramana, 2004:51).
Bali
memang sangat terkenal dengan kebudayaan Hindunya, tetapi wilayah Tengger juga
tidak kalah dengan kebudayaan Hindu yang ada di Bali. Menurut Simanhadi dalam (Abdullah Masmuh, dkk., 2003:97),
secara umum masyarakat Tengger dikenal dengan masyarakat yang menganut
kepercayaan Hindu yang sangat kuat.
Animisme
dan dinamisme tumbuh dan berkembang di masyarakat Tengger. Selain itu,
keberagaman kebudayaan masyarakat Tengger juga sangat banyak, hal ini tercermin
dalam kegiatan-kegiatan upacara adat.
M.
Malik Thoha dalam (Abdullah Masmuh,
dkk., 2003:98), keberagaman ritualisme budaya dan kepercayaan masyarakat
Tengger terlihat dalam beberapa upacara, antara lain upacara Kasada, upacara Hari Raya Karo, Entas-Entas, upacara Pujan
Mubeng, upacara Sesayut, upacara Praswala Gara, dan lain-lain.
Sesajen
dalam hal ini digunakan pada saat upacara Pujan Mubeng dan upacara Sesayut.
Upacara Pujan Mubeng bertujuan untuk memohon keselamatan dusun dengan sesajen,
berupa juadah putih, juadah merah, juadah kuning, juadah hitam. Upacara Sesayut
dilakukan pada waktu ibu sedang mengandung tujuh bulan. Makanan yang digunakan
untuk sesajen berupa jenang abang dan jenang putih (Abdullah Masmuh, dkk., 2003:119).
Sesajen pada upacara Karo sebagai banten dinamakan Kayopan Agung yang terdiri dari 3 nyiru atau tampah berisi 9 buah tumpeng kecil beserta lauk-pauk: sate isi
perut hewan, sayur kara, juadah ketan putih dan ketan hitam, conthong berisi
apem, pisang, seikat pisang gubahan, daun sirih, kapur dan sepotong pinang
(jambe ayu). Perangkat upacara lain adalah sedekah Praskayopan, yaitu sedekah yang terdiri dari setumpuk daun sirih
(suruh agung) dan takir berisi pinang dan bunga. Disamping itu ditaruh pula
srembu, sebuah pincuk kecil berisi umbi, talas dan kacang yang direbus dan
diberi kelapa parut. Di atas Praskayopan
diletakkan beberapa helai kain (http://www.parisada.org,
2011:online).
DARTAR PUSTAKA
Pramana,
Pande Nyoman Djero. 2004. Sang Hyang
Jaran. Surakarta:
Citra
Etnika.
Masmuh, Abdullah, et al. 2003. Agama Tradisional. Yogyakarta: Lkis.
Sawunggalih,
Mustafid. 2010. Makna Sesajen.
http://sosbud.Kompasiana.com/2010/03/11/makna-sesajen/. [4 Oktober 2011]
Anonim.
2011. Kepercayaan Jawa Terhadap Alam.
Widyaprakosa,
Simanhadi. 2006. Mengenal Masyarakat Tengger
(2). http:// www.parisada.org. [4 Oktober 2011]
Komentar
Posting Komentar