SASTRA ANGKATAN CHAIRIL ANWAR


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangannya, sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan. Tiap-tiap angkatan biasanya sejalan dengan perkembangan zaman pada saat itu. Penyusun ingin memaparkan lebih dalam tentang sejarah sastra Indonesia angkatan 1945.  Seperti yang penyusun ketahui, bahwa sebelum tahun 1945 pemikiran tentang penulisan sastra berkiblat pada kebudayaan dari Barat. Namun, setelah munculnya sastra angkatan 1945 atau lebih dikenal dengan sebutan sastra angkatan Chairil Anwar, pemikiran mereka dirombak total dari kiblat mereka yang kebarat-baratan menjadi pemikiran yang menjunjung tinggi nilai lokal kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini mendapat tanggapan yang luar biasa dari masyarakat Indonesia. Pada masa itu, Chairil ingin membuktikan bahwa bahasa Indonesia yang baru berdiri di ambang pintu modern serta-merta memadai untuk mengungkapkan pikiran yang paling dalam dan paling pekat dalam bentuk seni yang tinggi.
Sastra angkatan’45 adalah sastra kemerdekaan, tidak ada lagi hambatan-hambatan politik seperti yang dialami oleh angkatan-angkatan sastra sebelumnya. Individualisme dan kebebasan yang diidamkan oleh kaum Pujangga Baru, dapat dinikmati sepenuhnya pada generasi ’45. Penciptaan dan apresiasi terhadap karya sastra dapat dilakukan sebebas-bebasnya. Segala eksperimen,  bentuk aliran sastra, dan pengaruh sastra dapat dengan merdeka dilakukan oleh angkatan ini. Kesusastraan sebagai ekspresi pribadi secara leluasa dapat dilahirkan.
Meskipun sikap jiwa para seniman dan sastrawan memang bebas, tetapi ancaman-ancaman dan ketidakpastian masih mencekam. Kondisi sosial dan politik yang demikian itu mengakibatkan para sastrawan justru lebih intensif, lebih pekat dalam menghayati kehidupannya. Ketidakpastian menghadapi maut yang dapat setiap kali datang dalam masa revolusi itu, justru memaksa para sastrawan untuk memahami arti pengalaman dan hidup secara spontan sangat menandai vitalitas, intensitas dan ekspresi secara spontan sangat menandai karya-karya sastra mereka. Tiba-tiba dalam waktu yang singkat Indonesia menghasilkan banyak karya-karya sastra besar pada angkatan ini. Sajak-Sajak Chairil Anwar, roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Achdiat Kartamihardja merupakan tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia.
Namun sastrawan angkatan ’45 masih termasuk golongan masyarakat menengah, kaum terdidik dan kaum muda pada zamannya, seperti halnya kaum Pujangga Baru. Pada dasarnya sastra Indonesia sejak zaman Pujangga Baru merupakan sastra dari golongan menengah terpelajar yang hidup dalam kebudayaan modern di kota-kota besar di Indonesia. Hanya latar belakang tingkat pendidikan, situasi zaman  dan pengaruh bacaan luar negeri sajalah yang membedakan watak penciptaan karya-karya sastra mereka. Sastra Indonesia modern menjadi sastra bangsa Indonesia sejak Pujangga Baru. Tetapi sastra Indonesia itu betul-betul menemukan identitas dirinya sejak angkatan ’45.










BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Angkatan Masa Jepang
Angkatan Masa Jepang terjadi ketika berlangsung penjajahan Jepang di Indonesia, yakni antara tahun 1942-1945. Pada masa itu, penggunaan bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat karena penggunaan bahasa Belanda dilarang oleh Jepang. Karya-karya sastra juga mulai berkembang sangat hebat dan mencuat. Para sastrawan yang pada mulanya bersimpati terhadap Jepang yang mulanya terlihat sangat baik hati lama-lama mereka membanci Jepang karena ternyata Jepang lebih kejam dibanding dengan penjajah sebelumnya. Kebencian mereka terekspresikan dalam bentuk karya sastra. Namun karena sensor Jepang melalui Keimin Bunko Shidoso (Kantor Pusat Kebudayaan) yang sangat ketat, banyak pengarang Indonesia yang terpaksa menyembunyikan dan tidak mempublikasikan karangan-karangannya, atau menulis dengan lambang-lambang. Dari sana, lahirlah  cerita-cerita simbolik.
Kenyataan pahit yang dijumpai oleh para pengarang ialah sensor Jepang. Meskipun demikian tidak banyak pengarang yang bersedia mengarang dalam nada propaganda yang dituntut pada zaman itu, pengolahan dan pertumbuhan dalam bentuk jiwa baru dalam kesusastraan terus berlangsung. Baru setelah 1945 sastrawan seperti Chairil Anwar dapat berkembang dan memperoleh pengaruh. Dari karyanya bahwa zaman yang penuh pergolakan, kekacauan dan perombakan nilai yang dialami olehnya, dihayatinya dengan sepenuh jiwa, seperti layaknya seorang Angkatan ’45.
Menurut Teeuw, ahli sastra Indonesia yang tersohor dengan bukunya Pokok dan Tokoh I dan II, telah menunjukkan bahwa bahasa Indonesia yang baru berdiri di ambang pintu zaman modern serta-merta memadai untuk mengungkapkan pikiran yang paling dalam dan paling dekat dalam bentuk seni yang tinggi.
Pada hakikatnya, kehidupan sastra di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kehidupan seni pada umumnya. Khususnya pada angkatan ’45 dan sesudahnya. Para penulis juga mencari komunikasi dengan publiknya melalui media lain. Asrul Sani dan Usmar Ismail dikenal karyanya dalam film. Rendra mendapat ketenaran sebagai penyair, produser dan sutradara drama. Hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa masyarakat Indonesia belum dapat dijangkau sepenuhnya dengan kata tertulis saja. Media lain dirasa lebih mengena dan sasarannya lebih luas.
Dalam waktu yang singkat itu, karya sastra yang dihasilkan kebanyakan berupa sajak dan cerita pendek. Namun terbit juga dua buah roman yang berisi propaganda Jepang, yakni Cinta Tanah Air oleh Nur Sutan Iskandar dan Palawija oleh Karim Halim. Kedua roman ini hanya berisi paparan peraturan-peraturan Jepang.
2.2 Angkatan 1945
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia, yang diwakili oleh Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945 lengkaplah persyaratan pembentukan negara dan bangsa Indonesia. Kejadian yang teramat penting ini berpengaruh sekali terhadap kebudayaan, termasuk kesusastraannya. Suasana jiwa yang sebelumya terkekang kini bisa diekspresikan lewat karya sastra secara bebas dan tanggung jawab. Para sastrawan Indonesia paham bahwa perlu mengisi kemerdekaan Indonesia. Gairah dan semangat untuk membangun, mengisi dan mempertinggi kebudayaan Indonesia muncul. Karakteristik kehidupan baru dari bangsa Indonesia ini tercermin dalam beberapa karya sastrawannya. Pelopor semangat ini adalah Chairil Anwar. Vitalitas, ekspresi pribadi, kebebasan menjelajah dan belajar dari dunia manapun, intensitas dan berjuang merupakan ciri utama karya-karya angkatan ’45.  Semangat persatuan dan kesatuan yang pada sastra Pujangga Baru berhenti pada khayalan dan idaman, kini menjadi kenyataan dan menuntut sebuah perwujudan. Individualitas yang diinginkan oleh Pujangga Baru dilaksanakan penuh konsekuen oleh angkatan ’45.
Nama Angkatan ’45 pertama kali diorbitkan oleh Rosihan Anwar dalam majalah Siasat pada tahun 1948. Angkatan ’45 dikenal juga Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Generasi Gelanggang, dan lain-lain.

2.3 CHAIRIL ANWAR PELOPOR ‘45
Chairil Anwar sebagai pelopor berdirinya angkatan 1945 telah banyak menghasilkan karya sastra. Selama tahun 1942 sampai 1949 Chairil telah membuat 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Jadi total tulisannya 94 tulisan. Meskipun misalnya ditemui semua hasil-hasil. Chairil Anwar plagiat, tak bisa disangkal bahwa lepas dari soal itu, ia sebagai penerjemah, masih berjasa telah membaharui persajakan Indonesia. Dengan mengakui plagiatnya sebagai terjemahan dan saduran, dia masih memiliki 70 sajak sendiri. Banyak karya-karyanya mendapat pengaruh dari luar. Chairil Anwar seorang individualis dalam pengertian suka hidup sendiri dan tidak peduli soal-soal kemasyarakatan tetapi dia adalah orang terbesar pengaruhnya dalam angkatan ’45. Sajak-sajaknya menghembuskan jiwa, semangat, dan cita-cita muda, bukan dalam arti tidak masak, masih hijau, tapi dalam arti terus-menerus, bersifat mambaharui, dalam arti segar-bugar, vital, penuh hidup, bergerak, dan menggerakkan.
Tidak pernah disangkal adanya pengaruh-pengaruh pada Chairil Anwar, tapi pengaruh itu sudah meresap pada jiwanya sehingga dalam menciptakan kembali pengaruh itu terjalin secara organis dalam hasil seninya. Keasliannya ialah dalam pengucapan diri pribadi seperti yang telah ditentukan oleh milieunya, pendidikannya, bacaannya, pemikirannya, perasaannya, dengan singkat pengalaman lahir dan batinnya.
Nafsu hidup jiwanya itu, seperti menjerit dalam sajaknya “ Aku ini binatang jalang ” – “ aku mau hidup seribu tahun lagi ”, menyebabkan ia ingin meresapkan kenikmatan hidup dalam segala bentuknya dan segala akibatnya. Nafsu hidup jiwanya itu demikian mendorongnya, sehingga Chairil itu sama dengan faham hidup, faham selalu bergerak. Chairil sungguh seorang yang tinggi cita-citanya, terutama dalam hal menggerakkan dan mengembangkan jiwa budaya bangsa kita. Ia punya keinsyafan bahwa bangsa Indonesia harus meninjau ke buah kesusastraan bangsa-bangsa lain daripada bangsa Belanda, agar kesusastraan Indonesia dapat bersemi baru. Ia sendiri telah mencurahkan tenaganya menyalin berbagai-bagai karangan dan syair dari bahasa asing.
Adapun contoh-contoh karya Chairil Anwar :
1.      Puisi asli :
a.       Kenangan (1943)
b.      Rumahku (27 April 1943)
c.       Di Mesjid (1943)
d.      Dalam Kereta (1944)
e.       Siap-sedia (1944)
f.       Catastrophe (1945), dalam bahasa Belanda
g.      Mirat muda, Chairil muda (1949)
h.      Yang terampas dan yang putus (1949), dll.
2.      Puisi saduran :
a.       The young dead soldiers
b.      Krawang-Bekasi
c.       Tot den Arme
d.      Kepada peminta-minta
3.      Puisi terjemahan :
a.       Somewhere ( somewhwere)
b.      P.P.C ( P.P.C)
c.       Mirliton (mirliton)
d.      De Laatste Der Hollanders of Java (Hari Akhir Orlando di Jawa)
e.       Herbstttag (musim gugur)
f.       A Song of The Sea (Datang Dara, Hilang Dara), dll.

2.3 Sastrawan Angkatan 1945 dan Karyanya
ü  Chairil Anwar: Kerikil Tajam (1949), Deru Campur Debu (1949), Yang Terempad dan Yang Putus, Doa (puisi), Aku (puisi), dan lain-lain
ü  Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar: Tiga Menguak Takdir (1950)
ü  Idrus: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Aki (1949), Kisah Sebuah Celana Pendek (cerpen), Keluarga Surono (1948), Perempuan dan Kebangsaan (1949), dan lain-lain
ü  Achdiat K. Mihardja: Atheis (1949), Bentrokan dalam Asrama (Drama), Keretakan dan Ketegangan (kumcer, 1956), dan lain-lain
ü  Trisno Sumardjo: Katahati dan Perbuatan (sandiwara alegoris, 1952), Daun Kering (1962), dan lain-lain
ü  Pramudya Ananta Toer: Tertralogi Roman Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca)
ü  Utuy Tatang Sontani: Suling (drama) (1948), Tambera (1949), Awal dan Mira - drama satu babak (1962)
ü  Suman Hs.: Kasih Ta' Terlarai (1961), Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957), Pertjobaan Setia (1940)
ü  Dan lain-lain
2.4 Perbandingan dengan Pujangga Baru
            Perbandingan dengan Pujangga Baru
1.      Sastra Pujangga Baru terlalu retorik, yakni menekankan pentingnya persamaan bunyi, irama dan pembakuan untuk; sedang angkatan ;45 lebih mengutamakan isi, paduan bahasa dan pikiran. Dengan memasukkan kata-kata kasar dan keras, namun tepat dan berfungsi, angkatan ’45 jelas menolak konsep “bahasa nan indah” ala romantik pujangga baru.
2.      Perasaan berlebih-lebihan seringkali menghinggapi sastra Pujangga Baru. Gaya superlatif seringkali kita jumpai. Ini disebabkan segalanya masih dipandang sebagai cita-cita, idealisme. Tetapi angkatan ’45 bertolak dari kenyataan, pengalaman. Nasionalisme dan negara kebangsaan bukan lagi idaman sehingga dapat dikhayalkan seindah-indahnya, tetapi perasaan-perasaan kebangsaan telah dikoreksi oleh pengalaman. Angkatan ’45 kritis terhadap segala hal. Watak manusia bukan hanya dilihat dari segi baiknya secara idealis, tetapi dilihat sampai ke tulang sumsum, kekuatan dan kelamahannya. Harapan-harapan yang mengecewakan dalam zaman Jepang memberikan pengalaman dan penderitaan pada angkatan ’45 sehingga sikap jiwa menjadi sinis dan skeptik. Kepalsuan lekas mereka lihat bungkusnya, dan hakikat yang mereka cari. Intisari dan hakikat pengalaman yang mereka cari, dan bukan samar-samar romantisme yang mengawang indah.
3.      Cakrawala pengaruh mereka cari bukan sebatas sastra Belanda yang dipelajari di sekolah-sekolah menengah, tetapi lebih luas ke sastra-sastra dunia yang lain. Kesungguhan mempelajari sastra dunia ini didoorong oleh keinginan hendak menyempurnakan diri dalam teknik dan isi kesusastraan. Kesusastraan dalam bahasa Inggris menjadi bacaan utama, menggantikan kesusastraan dalam bahasa Belanda yang menjadi bacaan utama kaum Pujangga Baru.













BAB III
SIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dari penjabaran di atas maka dapat disimpulkan ciri-ciri sastra Angkatan
1945 sebagai berikut.
Ø  Tema               : Kebebasan individu
Ø  Bahasa             : Percakapan sehari-hari, bahasa Indonesia yang lebih
  mantap, efekif, hemat sederhana
Ø  Gaya                : Ekspresif
Ø  Konsep            : Humanisme universal
Ø  Sifat                : Internasional (universal)
Ø  Corak              : Romantis realistis
Ø  Pengaruh         : Dunia internasional
Ø  Keberanian dan kebebasan menggambarkan visi






     




DAFTAR PUSTAKA
Situmorang, B.P. 1991. Sejarah Sastra Indonesia. Medan: Nusa Indah.
Rosidi, Ajib. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Mujiyanto, Yant dan Amir Fuady. 2007. Sejarah Sastra Indonesia (Prosa dan
            Puisi). Surakarta: UNS Press.
Jassin, H. B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II.
            Jakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jacob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid I. Bandung: PT
            Citra Aditya Bakti.












Komentar