FOLKOLR INDONESIA



FOLKLOR INDONESIA



Oleh:
Novitasari Mustaqimatul Haliyah
NIM  : C0211027
SASTRA INDONESIA UNS


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Hakekat Folklor
Folklor sebagai suatu disiplin, atau cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri di Indonesia, belum lama dikembangkan orang. Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore.
Folk sama artinya dengan kata kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok yang memiliki cirri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujud:
1.      Penanda fisik (warna kulit, bentuk rambut, dan sebagainya)
2.      Penanda sosial (mata pencarian, taraf pendidikan, kegiatan)
3.      Penanda budaya (bahasa, budaya, kegiatan, agama, dan lain-lain.)
Namun yang lebih penting adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Dan yang penting lagi, mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Jadi folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.
Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat mnemonic device.
Definisi folklor secara keseluruhan: folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Pengertian folkor Indonesia berbeda sekali dengan pengertian folklor yang diartikan oleh para sarjana Belanda dari zaman sebelum Perang Dunia II, yang membatasi folklor hanya sebagai kebudayaan petani desa Eropa, sedangkan kebudayaan orang luar Eropa adalah kebudayaan yang primitif. Hal itu disebabkan adanya anggapan dari zaman kolonial bahwa walaupun folklor (kebudayaan petani desa Eropa) lebih rendah dari kebudayaan kota atau bangsawan Eropa, namun lebih luhur jika dibandingkan dengan kebudayaan primitif seperti Indonesia. Akibatnya pada masa itu ada pembagian kerja di antara para ahli folklor dan ahli etnologi. Pada masa itu ilmu folklor disebut dengan istilah volkskunde, sedangkan etnologi atau antropologi disebut volkenkunde.
Jadi arti folk yang digunakan di Indonesia lebih luas daripada yang dipergunakan sarjana Belanda. Hal ini disebabkan orang-orang yang dikategorikan ke dalam folk adalah “anggota-anggota kolektif macam apa saja.” Jadi bukan hanya macam petani desa, apalagi petani desa Eropa saja.
Dari pengertian folk yang berbunyi: “sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik maupun kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya,” maka objek penelitian folklor Indonesia menjadi luas sekali. Jadi yang menjadi objek penelitian folklor Indonesia adalah semua folklor dari folk yang ada di Indonesia, baik yang di pusat maupun yang di daerah, baik yang di kota maupun yang di desa, di kraton maupun yang di kampong, baik pribumi maupun dari keturunan asing, baik warga Negara maupun asing, asalkan mereka sadar akan identitas kelompoknya, dan mengembangkan kebudayaan mereka di bumi Indonesia. Bahkan penelitian folklor Indonesia dapat diperluas lagi dengan meneliti folklor dari folk Indonesia yang kini sudah lama bermukim di luar negeri, seperti orang Indo Belanda di negeri Belanda atau di California, dan orang Jawa di Suriname.
Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya, harus terlebih dahulu mengetahui ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya, yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
a)      Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b)      Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
c)      Folklore ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut, biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada bahan folklor), folklor dengan mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannnya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
d)     Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui oleh orang lain.
e)      Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis, dan lain-lain.
f)       Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g)      Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
h)      Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan karena penciptanya sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
i)        Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Suatu folklor tidak berhenti menjadi folklor apabila telah diterbitkan dalam bentuk cetakan atau rekaman. Suatu folklor akan tetap memiliki identitasnya selama diketahui bahwa ia berasal dari peredaran lisan. Ketentuan ini lebih-lebih berlaku apabila suatu bentuk folklor, cerita rakyat misalnya, yang telah diterbitkan itu hanya sekedar berupa transkripsi cerita rakyat yan diambil dari peredaran lisan. Permasalahan dapat timbul apabila suatu cerita rakyat telah diolah lebih lanjut, seperti Sangkuriang dari Jawa Barat, yang diolah oleh sastrawan Ajip Rosidi menjadi karangan kesusastraan yang berjudul Sangkuriang Kesiangan (1961) maka pertanyaannya adalah apakah ia termasuk folklor? Jawabannya adalah “ya” dan “bukan”, karena bentuk cerita Sangkuriang ini sudah mempunyai bentuk antara, yakni folklor (kesusastraan lisan) dan kesusastraan tulis. Akibatnya versi Ajip Rosidi ini dapat dijadikan objek penelitian seorang ahli folklor atau seorang ahli kesusastraan tulis.
B.     Sejarah Perkembangan Folklor
Seperti yang telah diternagkan, folklor merupakan sebagian kebudayaan, yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan, itulah sebabnya ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan (oral tradition).
Penggunaan islilah tradisi lisan untuk meggantikan istilah folklor tidak disetujui, karena istilah tradisi lisan, mempunyai arti yang sangat sempit. Tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, sedangkan folklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat.
William John Thoms, orang yang pertama kali memperkenalkan istilah folklor ke dalam dunia ilmu pengetahuan, ia seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) Inggris. Thoms mengakui bahwa dialah yang menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada dan sebagainya dari masa lampau, yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquities, popular antiquities, atau popular literature.
Para ahli folklor di dunia ada tiga macam, yakni:
1.      Ahli folklor humanitis (humanistic folklorist), yang berlatar belakang ilmu bahasa dan kesusastraan.
2.      Ahli folklor antropologis (anthropological folklorist), yang berlatar belakang ilmu antropologi.
3.      Ahli folklor modern, yang berlatar belakang ilmu-ilmu interdisipliner.
        Sebagai akibat belum adanya kesatuan pendapat, maka tidak perlu merasa heran apabila masih ada negara-negara di dunia ini yang mempergunakan istilah lain untuk folklor. Di Prancis misalnya, istilah folklore dipergunakan di samping istilah tradision populair. Di Inggris dipergunakan folklore, sedangkan di negara-negara Eropa lainnya dipergunakan istilah volkskunde dan folk-liv (folk life). Walaupun istilah folklor sudah dikenal di Eropa Barat, namun artinya masih terbatas pada folklor lisan saja.


BAB II
PENELITIAN FOLKLOR DI INDONESIA
A.  Masa Dahulu
      Seperti yang telah dijelaskan di bagian pendahuluan, folklor sebagai satu disiplin, atau cabaang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, belum lama dikembangkan perkembangannya di Indonesia. Namun bahan-bahan folklor Indonesia sudah lama dikumpulkan dan dipelajari sarjana-sarjana dari disiplin lainnya. Dalam tahun 1908 umpamanya, pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan Panitia Kesusastraan Rakyat (Commissie voor de Volkslectuur), dengan maksud untuk mengumpulkan dan menerbitkan kesusastraan tradisional dan populer, yang banyak terdapat di Indonesia, namun sampai saat itu belum dapat diperoleh oleh umum.
      Para sarjana yang telah meneliti bahan-bahan folklor Indonesia adalah dari disiplin-disiplin: filologi, musikologi, antropologi budaya, teologi (para misi maupun zending), pegawai pamong praja kolonial Belanda, dan sebagainya. Kebanyakan sarjana dan peneliti itu adalah orang Eropa, terutama berkebangsaan Belanda.
      Dengan hanya mengumpulkan lore-nya saja, tanpa mengetahui folk-nya mengakibatkan pada waktu hendak mengklasifikasikan bahan-bahan folklor yang telah terkumpul, seorang peneliti akan menalami kesukaran. Ini baru untuk klasifikasi belum lagu analisa. Karea mengalami kesukaran itu, para sarjana penelitian folklor pada masa itu kemudian menggunakan metode spekulatif.  Akibatnya adalah bahwa hasil penelitiannya dianalisa bukan dengan menggunakan latar belakang kebudayaan maupun sosial folknya, melainkan dengan latar belakang kebudayaan atau sosial folk lain, yang dianggap oleh peneliti, yang kurang pengetahuan, adalah sama. Kelemahan itu dapat terjadi karena memang pada masa itu penelitian folklor Indonesia masih berada pada tahap permulaan, baik dalam pengumpulan data maupun analisa.
      George Alexander Wilken telah menerapkan teori evolusi religi dalam menganalisa kepercayaan rakyat Indonesia. Kesimpulannya bahwa kepercayaan orang Jawa tentang padi mempunyai jiwa dan adat memangur gigi adalah bekas peninggalan yang tetap yang masih hidup dari zaman animisme dahulu.
      W. H Rassers dan J. P. B. de Josselin de Jong telah mempergunakan teori strukturalis sosial dalam menganalisa folklor Indonesia. Selanjutnya, Josselin de Jong sewaktu mempelajari mitologi Indonesia telah berkesimpulan bahwa di dalam sistem kepercayaan orang Indonesia ada dua sampai tiga macam dewa.
      H. B. Sarkar telah mempergunakan teori Solar Mythology dalam menganalisa legenda Jawa Timur. Dan menurut Sarkar, cerita Panji adalah mite alam dan tidak ada hubungannya tetomisme dan eksogami.
      L. H. Coster-Wijsman telah mempergunakan teori difusionisme dalam peneliitian perbandingannya mengenai tokoh-tokoh penipu dalam dongeng Indonesia, terutama bagi daerah Pasundan, Jawa Barat. Menurut Coster-Wijsman, ia menduga bahwa cerita mengenai Kabayan langsung berasal dari Turki-Arabia.
      Philip Frick McKean, seorang penganut eclecticisme, dalam kesimpulannya orang Jawa selalu mendambakan keselarasan keadaan dan menghargai sifat cerdik yang tenang, sehingga dapat dengan cepat tanpa banyak emosi memecahkan masalah-masalah yang rumit.
      Jan de Vries menjadi penting dalam sejarah perkembangan folklor indonesia, karena ia adalah ahli folklor kebangsaan Belanda satu-satunya yang mempelajari folklor Indonesia.
B.  Masa Kini
      Dalam rangka mencari identitas bangsa maupun suku-suku bangsa yang ada di Indonesia, pada beberapa tahun akhir ini, di pusat maupun di daerah telah timbul kegairahan untuk mengumpulkan folklor Indonesia.
      Pada umumnya pengumpulan atau inventarisasi folklor ada dua macam, yakni:
1.      Pengumpulan semua judul karangan (buku dan artikel), yang pernah ditulis orang mengenai folklor Indonesia, untuk kemudian diterbitkan berupa buku bibliografi folklor Indonesia (baik yang beranotasi maupun tidak).
2.      Pengumpulan bahan-bahan folklor langsung dari tutur kata orang-orang anggota kelompok yang empunya folklor dan hasilnya kemudian diterbitkan atau diarsipkan.
     Metode pengumpulan untuk inventarisasi yang pertama adalah penelitian di perpustakaan (library research), sedangkan yang kedua adalah penelitian di tempat (field research).
     Tujuan inventarisasi yang pertama ada dua macam, yakni:
a.       Menghasilkan bibliografi biasa, yaitu buku yang hanya memnuat daftar-daftar judul karangan mengenai folklor, yang juga mengandung nama pengarang, tempat terbit, tanggal terbit, penerbit, dan judul karangan saja tanpa diberi anotasinya (ringkasan inti karangan),
b.      Menghasilkan bibliografi yang beranotasi, yakni buku yang bukan saja mengandung daftar judul-judul karangan mengenai folklor, tetapi juga anotasi masing-masing judul karangan, yakni yang berupa antara lin ringkasan masing-masing isi karangan dan penilaian.
            Museum-museum folklor material Indonesia, yaitu:
a         Musium Wayang Jakarta, koleksi museum ini adalahwayang golekcepak Cirebon, wayang kulit dan topeng Cirebon, wayang golek purwo, dan lain-lain.
b        Museum Tekstil, museum ini mempunyai koleksi tekstil dari berbagai daerah di Indonesia.
C.    Kegunaan Penelitian Folklor Indonesia
      Folklor mengungkapkan kepada kita secara sadar atau tidak sadar bagaimana folknya berfikir. Selain itu folklor juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting (dalam suatu masa) oleh folk pendukungnya. Contoh konkrit adalah dengan mempelajar lelucon yang sedang beredar di antara para mahasiswa pada masa orde lama. Terlepas dari sifat lelucon itu yang agak berbau porno, dapat diketahui fungsi lelucon itu, yaitu sebagai protes masyarakat.
      Selain itu, folklor berfungsi terutama yang lisan dan sebagian lisan, masih mempunyai banyak sekali fungsi yang menjadikannya menarik serta penting untuk diselidiki ahli-ahli ilmu masyarakat dan psikologi dalam rangka melaksanakan pembangunan bangsa.
      Fungsi-fungsi itu menurut William R. Bascom, seorang guru besar emeritus dalam ilmu folklor di Universitas Kalifornia di Berkeley ada empat, yaitu:
a         Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
b        Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
c         Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device).
d        Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
            Dengan demikian, penelitian folklor Indonesia sangat berguna bagi persatuan dak kesatuan bangsa Indonesia, yang pada dewasa ini masih lebih berat bhinekabya daripada tunggal ekanya, karena dengan mengetahui lebih mendalam folklor kolektifnya sendiri maupun kolektif lain, kita sebagai bangsa Indonesia dapat mewujudkan kebenaran ungkapan tradisional, yang mengatakan, “Karena kenal timbullah cinta.”
           

REFERENSI
Dananjaya, James. 1997. Folklor Indonesia (Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain).
        Jakarta: Grafiti.
     
     





Komentar